Tanganku bergerak lambat diatas keyboard. Entah mau sampai kapan pikiran busuk itu memenuhi otakku. Buntu. Kosong. Membuat kepalaku botak dengan sendirinya. Jemariku merintih, berusaha bangkit dan terus menari, menorehkan kalimat-kalimat; mengisi kehampaan kertasku. Aku mengerang, risih. Ingin sekali aku berjalan, menyusuri padatnya waktu di dunia sang Big Ben. Ah, sudahlah. Besok saja kuteruskan. Lagipula ini sudah larut, gumamku. Aku beranjak pergi dari hadapan sang komputer yang masih menyisakan kilatan sinar redup. Andai saja aku mampu melawan kemalasanku kemarin, tidak akan seperti ini jadinya, erangku.
Aku berjalan mengitari sofa empuk di depan perapian malam ini. Berteduh dalam keheningan malam, melindungi gemeletuk tulangku dari dingin. Ah, api ini selalu saja bisa menenangkan perasaan. Ku singsingkan sebelah jaketku, memperlihatkan hamparan kulit putih pucat yang bersih. Sebelah tanganku yang bebas, menggapai beberapa majalah fashion; ada namaku disana, meletakkannya di pangkuanku, dan kemudian menyeruput sedikit cappuccino di meja sebelah. Ah, terlalu dingin. Mungkin Ibu sudah lelah dan sekarang terlelap di ranjangnya. Kopi ini kurang mantap. Aku bergegas ke dapur, menyiduk sedikit air keatas panci dan merebusnya sebentar. Kutuangkan semuanya ke dalam gelasku, mengaduknya hingga tercampur. Sebelum kembali ke depan perapian, kusambar tiga sachet gula pasir diatas meja makan.
Ah, malam ini malam terakhir. Harusnya aku mampu menyelesaikannya, pikirku. Sambil menuangkan tiga sachet gula ke dalam cappuccinoku, kubaca halaman demi halaman majalah fashion edisi terbaru. Lihat, itu aku; "Designer Muda Indonesia Tembus Pasar Mode Internasional" Sigh! Awalnya aku memang teramat bangga dengan pemberitaan itu. Terlihat besar, agung, dan ... hebat. Ya, hebat! Hebat sekali! Umurku baru 18 tahun, tapi aku mampu menghidupi keluargaku melalui goresan tanganku. Kau tau, tidak semua orang seberuntung aku. Banyak yang punya kemampuan melebihi aku, tapi keberuntungan belum datang menghampiri mereka. Banyak juga yang beruntung; karena mereka punya uang, duit banyak, kesempatan. Tapi lowongan itu hanya dipakai sebagai hiburan semata; jalan-jalan. Menghabiskan uang.
Sedangkan aku? Kalian harus tau, aku memulai segalanya dari nol. Dari sepucuk mimpi yang datang di siang bolong, saat aku asyik bermain bersama Ayah. Di lapangan tennis, sebuah tempat yang tak biasa kukunjungi.
**
Siang itu, Ayah tiba-tiba pulang dari tempatnya bekerja, sebuah resto sederhana beralamatkan di sebuah tempat yang berpenduduk sederhana juga. Ayah begitu sumringah, setengah berlari menyambutku yang masih berpiyama, dan tertawa keras, "Hei, Buddy, Ayah punya seuatu untukmu," katanya sambil memelukku erat. Ia berjongkok dan mengeluarkan selembar kertas, ah bukan, selembar tiket mungkin. Aku ternganga takjub, lembaran itu berwarna emas. "Apa itu Ayah? Tiket lotre? Ayah menang lotre? YEEE!" aku berteriak kencang, berlarian mengitari ruang tengah sambil merentangkan kedua tanganku; bagaikan pesawat ulang-alik yang baru saja lepas landas. Ayah tertawa, "Kemarilah, kutunjukkan sesuatu," perintahnya, menarik ujung piyamaku dan mendudukkanku di hadapannya. Sambil menyeka bulu-bulu karpet, Ayah bicara, "Lihat ini, nak. Baca yang keras. Kupikir kau sudah pandai mengeja, bukan? Bukan begitu, Bu?" tanya Ayah pada Ibu yang sibuk mondar-mandir memberesi meja makan. Ibu tertawa renyah, "Tentu saja. Sudahlah, cepat tunjukkan padanya," sahut Ibu, berjalan cepat menuju dapur. Ayah menoleh padaku, "Siap?" Aku mengangguk pasti. Kurebut lembaran itu dari tangan Ayah, mengeja pelan-pelan ..... "VOU-CH-ER TEN-NIS 2 ... 2 ...," aku melipat dahi. Angka berapa ini? Sulit sekali membacanya, gerutuku. Aku masih berusaha menafsirkan tiga angka berikutnya, ketika tawa Ayah meledak. Aku mendongak, meringis pasrah, kemudian menyodorkan voucher itu pada Ayah, "Aku nggak ngerti itu angka berapa. Bacakan untukku dong, Yah ..." Ayah menerima lembaran itu dan tersenyum padaku, "Jadi kau menyerah, eh?" Ia tertawa saat aku mengangguk, "Yah, terpaksa begitu".
"Voucher Tennis $275," kata Ayah bangga, sambil menunjuk tiga angka yang tak kumengerti tadi. Aku tertegun, $275 ... berarti ... dikalikan 9113.00 ... maka hasilnya ..., "Ya ampun, Ayah. Apa ini mimpi? WOW, itu keren banget, Yah!" Aku tersenyum takjub. Ayah juga tersenyum. Sambil mengelus pelan rambut coklatku, Ayah berkata, "Nah, kau tau sekarang berapa nominalnya dalam rupiah, kan? Hebat bukan?" Ayah tersenyum lagi. Aku mengangguk, "Cool!" kataku polos. Ibu tersenyum dari balik pintu dapur, "Jadi, kapan kau akan mengajaknya untuk pergi?" Ayah menoleh padaku, menaikkan alisnya; tanda Ia meminta pendapatku. Aku berpikir keras, dan kemudian tersenyum cerah, "Sekarang aja, Yah. Hari ini hari terakhir liburan. Aku pengen banget keluar, Yah," kataku kemudian beranjak menuju rak sepatu di samping gantungan baju. Bergegas, aku memakai sepatu kets putih dan menyambar topi merah diatas rak pakaian. Tiba-tiba Ibu mencegahku, "Stop! Tentu kau tidak akan keluar dengan pakaian compang-camping begitu, bukan?" sahutnya sambil tertawa. Err, yah, aku lupa mengganti bajuku. Perasaan senang ini terlalu membuncah, menembus ubun-ubunku. Aku menoleh pada Ayah, berlari bersenandung, menaiki anak-anak tangga dengan riang. Tak sampai lima menit, aku sudah siap untuk pergi. Ayah tertawa renyah melihatku begitu bersemangat. Aku dan Ayah segera masuk ke mobil, dan melambai pada Ibu.
Tak berapa lama, kami berdua sampai di tempat yang dituju. "Ternyata lapangan ini yang dimaksud Ayah? Nggak jauh, cuma beberapa blok. Tau gitu, kita jalan kaki aja Yah," kataku sok kuat.
Aku dan Ayah turun dari mobil, kemudian aku membantu Ayah mengeluarkan peralatan tennis kami dari bagasi. Kami berdua berjalan beriringan kerah pintu masuk lapangan tennis terbuka itu.
Dan saat itulah, tanganku mendapatkan anugerah luar biasa ini ...
Di sebuah hamparan rumput super pendek yang menghijau; padat tapi lembut bila kau merebahkan tubuhmu diatasnya. Angin semilir menerpa, menderu-deru di telinga, menerbangkan dedaunan kering dari pepohonan di sekitar. Rambut coklatku melambai pelan, mengangkat sedikit topiku, hampir saja terjatuh dihembusnya.
Tanganku terentang, mataku terpejam, begitu menikmati keadaan siang itu.
Ayah berbisik perlahan di sampingku, "Kau tentu tak akan berdiri diluar lama-lama kan, nak?" Aku menoleh, cengengesan, "Tentu Ayah," kemudian Ayah menggandengku masuk ke lapangan.
Daun-daun berserakan di tengah lapangan, membuat teduh suasana saat itu. Angin menerpa-nerpa wajahku; ingin sekali aku memeluk angin, menggoyangkannya kesana-kemari, seperti ia memainkan rambut-rambutku. Ayah meletakkan dua buah raket dan tas berisi pakaian ganti diatas kursi panjang. Kata buku cerita yang pernah kubaca, kursi panjang itu untuk istirahat pemain pada waktu latihan. Tapi kelihatannya aku akan lebih suka duduk di kursi yang bertangga itu daripada duduk di bawah. Lebih asyik rasanya melihat orang-orang bermain dari atas. Terlihat .... amat menantang!
Aku menaiki kursi bertangga itu perlahan. Oh, wow, ini asyik. Satu ... dua anak tangga kulewati. Tiga ..., "Hati-hati, nak. Awas tergelincir," kata Ayah memperingatkan. Aku mengangguk mantap, "Tenang Ayah, aku pasti hati-hati ..." tiba-tiba pergelangan kakiku tergelincir. Rupanya ada bagian anak tangga yang basah terkena air. Aku berteriak tertahan, berusaha menggapai apapun di sekitarku. Secepat kilat, Ayah menyambar bajuku dan mendorongku keatas. Fiuh, syukurlah. Aku begitu gugup menaiki tangga ini, sampai-sampai tergelincir. Ayah tersenyum khawatir, "Nah, kubilang juga apa. Sekarang, lebih baik kau cepat mengambil raketmu, dan kita mulai berlatih. Ayo!" Ayah menuntunku menuruni tangga, kemudian menunjukkan sebuah raket kecil di samping raket satunya yang lebih besar; tentu saja, itu milik Ayah.
Kami berjalan ke lapangan. Ayah mengajariku cara memegang raket dan bagaimana aku harus menggunakannya. "Pegang seperti ini," katanya sambil meletakkan tangan kanan di depan tangan kiri, menempatkan kedua telapak tangan di puncak pegangan raket. Kemudian Ayah mengayunkan raketnya ke depan-ke belakang, "Ayunkan seperti ini dari depan ke belakang. Tapi, tunggu," Ayah menghampiriku yang berdiri kaku di lapangan. "Tidak diayunkan dengan posisi badan seperti ini," kata Ayah sambil tersenyum jenaka. Aku meringis, dan kemudian meniru posisi badan Ayah. "Baik, miring seperti ini?" Ayah tersenyum, kemudian membetulkan posisi kakiku. "Seperti ini?" kataku menunjuk pada kakiku; kanan di belakang, kiri di depan, dan agak berjongkok. Ayah mengangguk, kemudian menyuruhku untuk melakukan ayunan seperti yang telah Ia ajarkan tadi. Aku mengayunkan tanganku perlahan, menyesuaikan dengan irama ayunan Ayah. Tapi entah kenapa, makin lama, tanganku mengayunkannya semakin cepat, bertenaga, dan rasanya aku sudah tidak sabar untuk memukul bola. "Ayah, boleh nggak kita mulai mukul bola aja sekarang? Aku bosan main ayun-ayun terus," kataku memberengut. Ayah tertawa, "Baiklah, baiklah. Ayo sekarang coba pukul bola Ayah ini," katanya sambil melempar sebuah bola ke hadapanku. Aku terkseiap, tidak menduga akan diumpani secepat itu. Tapi aku segera melayangkan ayunan raketku, dan tanpa terduga, tepat mengenai bola dengan keras. Bola melambung memasuki lapangan seberang, memantul perlahan, dan berhenti. Ayah terkejut, terdiam menatapku, dan bertepuk tangan, "Bravo! Anakku calon pemain tennis!" katanya sambil merangkul pundakku. Ah, Ayah, baru kebetulan saja sudah dibilang calon pemain, kataku dalam hati. Tapi aku tersenyum mengiyakan, "Tunggu saja saat aku nanti berusia 18 tahun. Aku akan jadi pemain tennis terkemuka!" kataku berapi-api.
**
Lagi-lagi aku teringat masa kecil itu. Dimana kekuatan tanganku, diam-diam datang menghampiri sang kurcaci kecil. Entah sudah berapa banyak keajaiban yang mampir semenjak hari itu. Mulai dari kemampuan menggambar yang melesat jauh diatas anak-anak seumuranku; membuat banyak orangtua temanku tertarik untuk mengikutkan anaknya kursus melukis. Hingga kelihaian bermain basket; aku mengalahkan Ayah dengan satu jebolan bola di ringnya, satu menit sebelum waktu habis. Baik, ini mungkin bisa jadi biasa saja, tapi aku merasa luar biasa. Bagaikan disengat ratusan lebah, Ayah dan Ibu tiba-tiba mengikutkanku ke berbagai kursus. Musik, Seni rupa, Olahraga, dan bahkan kursus memasak. Karena -entah gimana caranya- semua hal yang kusentuh akan menjadi hal paling menakjubkan dimataku; dimata Ayah dan Ibu juga.
Dan untungnya aku amat menikmati hal itu. Sampai suatu ketika, ada teman Ibu datang berkunjung ke rumah. Seorang pemilik wardrobe yang lumayan terkemuka; Ia melihat hasil goresan tanganku diatas kanvas. Lukisan seorang noni Belanda dengan gaun berpotongan sabrina warna peach dan krem; sedang berdiri menyamping, menggenggam sebuah payung berenda warna cokelat. Lukisan itu baru seminggu yang lalu jadi, dan bau cat minyaknya masih terasa kental di ruang tamu. Ibu dan Ayah sangat menyukai lukisan tersebut, begitu juga denganku. Aku menghabiskan banyak waktu untuk menyelesaikannya. Detail-detail bajunya, rambutnya, sepatunya, dan finishing yang amat melelahkan. Akhirnya, 25 Agustus, tepat seminggu yang lalu lukisan ini sudah berhasil dipajang di ruang tamu rumahku.
Oke, kembali kepada teman Ibu. Ia terdiam begitu lama ketika melihat lukisan tersebut. Hampir lima belas menit Ia berdiri saja di depan lukisan sang noni Belanda. Ibu tersenyum di balik rambutnya yang tergerai bebas, sesekali mengerling padaku yang sedang melahap sarapan pagiku; roti isi daging cincang dengan banyak bawang bombay dan mayonaise. Well, bawang bombay memang harus selalu tersedia dalam makananku. Untunglah rumah ini dekat dengan pasar, jadi nggak sulit buat Ibu mendapatkan bawang bombay.
Teman Ibu itu namanya Nona Sasha; Ia belum menikah. Ia amat menyukai lukisan itu, dan bertanya pada Ibu siapa pelukisnya. Dengan bangga, Ibu membalik kanvas itu, menunjukkan nama yang tertera di balik kayu kanvas. Nona Sasha mengernyit, "Siapa ini? Belum pernah aku mendengar namanya," katanya heran. Ibu tersenyum lebar kali ini, dan berkata, "Dia pelukis masa depan. Masih dalam tahap belajar dan pengembangan bakatnya. Kalau kau mau, aku bisa mengenalkannya padamu. Mungkin kau bisa bekerjasama dengannya merancang desain-desain baju baru," katanya sambil tersenyum. Nona Sasha tampak berpikir. Kemudian dengan tenang ia berkata, "Aku akan dengan senang hati mengajaknya bekerjasama, asalkan kau mau mengenalkannya padaku."
Tersenyum, dalam hati berteriak girang, aku melompat turun dari kursi, dan mendatangi Ibu yang mengulurkan tangannya padaku; merangkulku hangat. Nona Sasha tersenyum padaku, memeperlihatkan gigi-gigi besarnya yang putih bersih. "Ini anakku, kenalkan," kata Ibu sambil mendorong lenganku untuk berjabat tangan dengan Nona Sasha, "Halo, Bibi Sasha. Senang dapat berjumpa denganmu. Kuharap kita dapat segera memulai kerjasama kita bulan ini," kataku sok berwibawa. Nona Sasha menggenggam tanganku, menariknya sedikit, dan mendekatkan wajahnya kearahku, "Ya?" katanya bingung. Ibu berdehem, "Sebenarnya .... anakku yang melukis lukisan ini," katanya sambil tersenyum padaku, bangga. Nona Sasha terkejut, menutupi mulutnya yang bundar dengan sebelah tangannya. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya; bulu matanya sangat lentik, alami tanpa maskara. Melihatku takjub, kemudian bertanya padaku, pelan, "Kau ... pelukis? Seorang pelukis? Lukisan itu?" Aku mengangguk, menggangguk, dan mengangguk lagi sampai rasanya kepalaku berputar. Nona Sasha terkejut lagi, menutup mulutnya lagi, dan berulang kali berteriak, "Oh, oh," "Oh, Ya Tuhan," "Oh, wow," dan kemudian berkata pelan lagi padaku, "Kau ... belajar darimana, nak?" Aku berdehem, "Baru saja ikut kursus melukis di seberang jalan sana seminggu sekali. Sisanya aku belajar sendiri," kataku mantap. Nona Sasha tampak sangat terkejut, kemudian Ia duduk kembali, menyilangkan kakinya, dan berkata, "Baik. Minggu depan kau boleh ikut ke studio bajuku di seberang AgustinerStreet, ini kartu namaku. Barangkali kau ingin melihat-lihat dan tertarik ..." -"Tentu saja aku mau!" sambarku. Aku menoleh pada Ibu, "Boleh kan, Bu?" Ibu tersenyum kecil, " Tentu saja. Akan sangat menyenangkan untukmu belajar berbagai macam bentuk pakaian." Aku mengangguk pada Nona Sasha, "Terima kasih banyak, Bibi. Aku pasti datang memenuhi undanganmu," kataku kemudian berlari menghampiri Ayah di garasi; memberitahukan berita baik ini tentunya.
**
Sabtu, 31 Desember 2011
Jumat, 30 Desember 2011
Kamis, 29 Desember 2011
saphire : 1. us : asame
Gue dilahirin di dunia sebagai hero. Hero keluarga gue tentunya. Kalian tau apa maksud 'hero' disini? Ya, keluarga gue emang bukan dari golongan yang tajir tujuh turunan, bukan golongan pejabat yang uangnya melimpah, dan bukan juga dari kasta Brahmana. Well, look at this place, guys! Kalian bakal langsung ngerti gimana kondisi keluarga gue. Ehm, kondisi perekonomian keluarga gue. Lantai bangunan ini cuma dari tanah basah yang keras; tanah alami, tanah yang masih asli dari sononya. Dinding bangunan? Nggak ada yang namanya dinding. Ini cuma sekat yang misahin ruangan dalam dan luar; pembatas tempat tinggal gue dengan alam liar. Masih mending kalo terbuat dari bahan yang kokoh dan nggak gampang roboh keterpa angin. Tapi andai aja itu bener, mungkin udah dari dulu-dulu uang kami kekumpul buat beli tempat tidur yang layak atau ngebangun kamar mandi; minimal yang standart-lah, ada bak mandi dan ada kakus. Oh ya, dan air sumur kalo kami emang mampu.
Apa daya, keinginan itu pupus diterjang angin yang seringnya labil. Kadang ganas kadang tenang. Tapi kalo sekarang nggak ada namanya angin tenang. The world has changed; dan kondisi ini bikin angin meraung, merongrong, menyerang tempat tinggal kami dengan berbagai kejutan tiap harinya. Siapa yang patut disalahkan? Entahlah. Gue udah cukup lama berpikir tentang kesialan keluarga gue ini, tapi masih juga belum dapet jawabannya. Gue masih kecil. Masih 10 tahun. Oh, gue lupa, gue hero disini, jadi nggak ada kata 'masih' tapi 'sudah'. Takdir gue emang berkata kalo gue yang kudu ngerubah nasib keluarga ini. Nasib orang tua gue, nasib adek gue yang masih ucrit. Untunglah, orangtua gue cuma punya gue dan satu anak laki-laki. Jadi tanggungan yang dipikul bokap-nyokap nggak terlalu gede. Cuman ya itu tadi, nggak tau kenapa kedua orang tua itu masih juga belum bisa nulis cerita kami sendiri ....
**
Angin diluar menderu-deru. Berisik. Kilatan si petir mencabik-cabik malam, membuatnya terang benderang penuh cahaya menyilaukan. Tetes demi tetes hujan kini berjatuhan, menjerat siapa saja dalam basah. Menunggu waktu untuk mulai meninggikan intensitas butiran airnya, dan tak lagi segan menenggelamkan kucing kecil malang yang tengah berteduh, mencari kehangatan sang bunda. Pemuda itu tergesa menghampiri pinggiran sungai kecil berpohon rimbun. Tangannya lelah menggapai-gapai, mengacak-acak udara, berusaha menemukan; lebih tepatnya mencengkeram sesuatu. Matanya nyalang, gigih beradaptasi dengan gelapnya malam. Tak peduli kakinya terendam banjir yang menggila, membuatnya hitam terkena lumpur basah nan lengket. Rambut cokelat tergerai lembut di sisi-sisi pelipisnya; basah menutup sebagian wajah, menusuk-nusuk matanya. Lebih depan lagi, gumamnya gelisah. Harus ketemu!
Gemeletuk giginya tak digubris. Ia kedinginan, dan sempat berpikir untuk menyerah, kembali pulang dengan tangan kosong, tapi seluruh tubuh basah kuyup; kotor. Lebih maju lagi, gumamnya letih. Dengan sedikit keberanian yang tersisa, pemuda itu maju; terpelosok, dan hampir ditenggelamkan derasnya arus sungai yang sedang banjir. Tangannya menggapai udara, berusaha menarik diri keatas permukaan, menghirup oksigen bebas, melepaskan kakinya dari jerat lumpur yang seakan menggelitik tubuhnya untuk masuk ke dalam air lebih jauh. Berhasil! Jemarinya kini menggenggam erat sepucuk ranting yang lumayan kokoh di sisi kanan jembatan. Gelagapan ia berusaha menerjang air sungai yang semakin tinggi; minum air keruh, kelilipan kotoran sungai. Bah, sungai ini menjijikkan. Siapa yang patut disalahkan? Ia menggerutu dalam kacaunya kondisi malam itu.
Hampir sejam ia bergelut dengan alam. Hampir sejam itu pula ia menyerah, pasrah pada apapun yang akan terjadi nanti; yang akan terjadi pada dirinya, dan sesuatu yang ia cari. Tapi tak lama. Hujan deras itu mereda, menenangkan sang sungai yang mengamuk. Pemuda itu terseok melompat ke pinggiran, meraih sesuatu sebagai pegangan. Ia terduduk lemah di dekat tempat sampah yang kacau balau diterjang angin. Cih, siapa pula yang patut disalahkan atas tumpukan sampah yang menggenang ini? Jelas saja sungai ini meluap. Akan kudatangi si pemilik sampah tak bertanggung jawab ini nanti, cercanya dalam hati.
Tanpa sengaja, lengannya menyentuh sesuatu yang bergerak pelan, mendengkur pulas diantara sampah kardus minuman yang tercecer. Terlindung dari hujan dan banjir, kardus itu hanya setengah basah di bagian kiri sisinya, dan kering; hangat di sebagian besar sisi lainnya, aman dibawah pohon beringin yang lebat dan ternyata sulit ditembus derasnya tangisan dari langit. Si pemuda mendorong pelan kardus tersebut, mencengkeramnya erat agar tidak jatuh menimpa sesuatu dibawahnya; sesuatu yang ia cari. Si pemuda tersenyum, seulas kepuasan dan kelegaan terpancar dari wajahnya yang kuyu; pucat kedinginan.
Ia menggeser perlahan kardus itu, menggosok telapak tangannya yang mulai keriput; akibat terlalu lama bergumul dengan air yang dingin. Si anak kucing kecil mendongak, mengerjap-kerjapkan matanya yang mungil, mengeong lemah; ketakutan, kedinginan, kelelahan, lapar. Si pemuda mengelus lembut bulu tipisnya, kemudian merengkuhnya dalam-dalam, menenggelamkan kepala si kucing dalam hangat lengannya. Dan pulang, berpikir tentang ganjaran yang akan diterimanya besok kalau perbuatannya malam ini ketahuan sang ibu. Entah kenapa ia masih belum bisa mengatur alur cerita kehidupannya sendiri ....
**
DOK! DOK! DOK!
Pintu reyot gue diketuk lumayan kencang. Siapa pula yang dateng pagi-pagi gini? Hey, you know it's too early enough, don't you, huh? Gue melangkahkan kaki lebar-lebar, menjangkau sisi pintu hanya dengan lima derap. Seperti yang kalian lihat, bangunan ini dibangun diatas tanah yang luaassss, berhektar-hektar besarnya. Tapi nasib keluarga gue hanya secuil petak dari luasan itu. Jadi, kalau cuma untuk membukakan pintu aja ngeluh, payah banget jadi orang. Cuma 5 meter di depan kamar gue ini.
Gue memutar kenop dengan kasar, gusar karna ketenangan belajar gue diganggu gedoran tak manusiawi pagi-pagi buta. Gue menemukan celana lusuh berlubang di hadapan gue, kaos kucel yang udah luntur warnanya, dan, eng ... ada beberapa bercak kotor di ujung kanan bawah. Terlihat fantastis di hadapan gue; fantastis menjijikkannya. Mana ada orang bertamu dengan pakaian 'super sopan' seperti ini? Nggak punya tata krama. Gue aja kalo mau ngunjungi temen nyokap, masih berbaik hati make baju terbagus pemberian almarhumah nenek yang juaraaannngg gue pake karna sayang; takut kotor. Meskipun rumah temen nyokap itu cuma di seberang desa dan nggak ngehabisin waktu lebih banyak dibandingin naek angkot ke pasar, gue tetep ngejaga penampilan gue necis; sempurna. Bersikap sempurna juga, sesempurna gue menyembunyikan perasaan iri sama anak temen nyokap itu. Berpunya dan terpandang. Siapapun bakalan rela jalan kaki kesana demi ketemu si anak temen nyokap. Cantik, pintar, dan ramah. Gue juga ramah sih, sama orang yang dikenal. Tapi kalo sama cowok bengal di depan gue ini ....
"Cari siapa? Mau apa?" cecar gue serta merta tanpa meduliin ekspresi si cowok yang setengah terkejut. Gue menatap heran kearah dia. Dari ujung rambut sampe kaki ... bersih dan rapi. Tapi kenapa bajunya .....
"Aku cari orang yang punya tong sampah di depan itu," sambarnya tak kalah galak. Ia memicingkan mata, menatap gue seakan-akan pengen melumat kepala gue. Gue melotot nggak terima, "Gue yang punya. Kenapa?"
Cowok itu menggosok pelan baju kusutnya, meninggalkan debu-debu halus beterbangan menusuk hidung. Cih, sejak kapan dia nggak ngeganti bajunya? Salah banget tadi gue nyebut dia bersih dan rapi, gerutu gue dalam hati.
"Tolong dong, dibersihin kek sekali-sekali. Bikin banjir, tau?!" semburnya keras. Gue melotot, terjengat sedikit ke belakang, meringis. Lengan gue terantuk kusen pintu. Si cowok menyipitkan matanya lagi, "Atau aku perlu lapor ke mandor pemilik lahan ini kalo kamu nggak becus ngerawat tanahnya?" Gue mendengus kasar, pengen rasanya tangan gue nampar muka tuh cowok. Tapi gue emang salah sih, jadi gue memilih diem. Udah dari dua hari yang lalu bokap nyuruh gue misahin sampah kering di depan; buat dijual ke pemasok pabrik. Tempatnya agak jauh, jadi gue agak males gitu kesana. Gue cuma misahin sebagian plastik, kertas, dan kardus dari kotak sampahnya, terus gue taro gitu aja di sebelah pohon beringin yang anehnya tumbuh subur di seberang rumah gue ini. Beda banget sama badan gue dan adek gue yang nggak bisa subur ....
"Perlu?" Cowok jangkung itu membuyarkan lamunan gue. Gue mendengus lagi, tapi nggak bisa jawab apa-apa. Dia mendekatkan wajahnya kearah gue, ngebuat gue pengen pingsan; bau bajunya itu lho, bikin ayam ayan.
Tapi akhirnya gue melengos, "Nggak usah, gue beresin hari ini juga," gue ngeloyor pergi ninggalin si cowok yang masih berdiri di ambang pintu; mulai mungutin sampah yang berserakan di sekitar pohon beringin.
Selagi gue ngeberesin plastik-plastik basah yang tercecer, cowok itu pergi. Melangkah menjauh tanpa sedikit pun menoleh, tanpa pamit.
"Baju lo tuh yang perlu dibersihin! Bikin polusi udara aja!" cerocos gue nggak peduli, sambil terus memunguti plastik yang kusut ditimpa bebatuan. Dasar emang nggak bertata krama! Mungkin dia anak orang kaya, makanya omongannya sok banget. Tapi ...
Entahlah, gue nggak yakin sama penampilannya. Tapi kalo dari cara dia ngomel, mungkin dia anak orang berpunya; cerewet gitu.
HUH! Gue nggak tau sampe kapan gue kudu nerima nasib memelas gini; dicecar banyak orang, direndahin dan dianggap sama-sama nggak berguna kayak sampah di depan gue ini.
Tapi, kata nyokap, gue adalah hero. Hero? Atau Zero?
**
Aku nggak ngerti kenapa bisa begitu kasar sama gadis tadi. Melihat bangunan yang disebutnya rumah itu saja, sebenarnya aku ingin menangis; begitu terenyuh atas kegigihan gadis itu melanjutkan hidup. Melanjutkan pendidikan maksudku. Darimana aku tahu? Tentu saja, pintu di depanku tadi terbuka lebar, menampilkan pemandangan yang membuat siapa saja ingin tersenyum haru. Di petak kecil, agak menyudut pada dinding kanannya, terpampang sebilah kayu kering yang agak lebar, dengan selembar tikar lusuh di depannya. Tumpukan buku kecil dan kotor berserakan diatas tikar, lengkap dengan beberapa lembar kertas lecek dan pensil berujung patah. Aku begitu tertegun melihat pemandangan menakjubkan itu. Dibalik sikapnya yang kasar terhadap orang asing, ternyata ada secercah harapan; keinginan untuk memperbaiki nasibnya, memandaikan otaknya yang cerdas, tapi sayang terhalang rendahnya kondisi ekonomi yang amat mencolok. Aku hanya bisa diam dan beranjak pergi tanpa kata. Mungkin gadis itu akan semakin membenciku dengan sikap tak sopan yang kutunjukkan. Tapi sungguh, aku berusaha sekuat mungkin menahan diri agar tak menangis melihatnya berdiri tegar menantang siapapun yang ingin menghancurkan masa depannya. Termasuk aku. Gegabah mencerca kesalahan kecilnya. Terlalu ceroboh.
Aku merebahkan tubuhku diatas kasur yang empuk. Memandang langit-langit kamar, berpikir, dan ... menangis. Tanpa terasa, sifat melankolisku muncul lagi. Sial! Sudah sekian lama hal memalukan ini nggak terjadi lagi; menyakitkan jika kekuranganmu menjadi bahan olokan sekitar. Aku memang gampang sekali terharu. Bukan sesuatu yang patut kubanggakan mungkin. Aku laki-laki, beda dengan perempuan yang menganggap sifat melankolis adalah hal wajar bagi mereka. Tapi aku ...
Entah sampai kapan aku harus melawan gejolak haru yang terus menggerogoti ulu hati. Mungkin aku sudah berusaha terlihat kuat; macho di depan semua orang yang dulu sering sekali mengejekku banci. Cih, sudah hampir enam tahun belakangan aku tak pernah menangis. Aku kini bisa disebut salah satu pemuda yang ramai digunjingkan gadis-gadis di desa ini. Badanku tegap, kekar layaknya pria pada umumnya. Tampang juga nggak kalah dengan artis-artis di ibukota. Bahkan beberapa dari gadis-gadis itu ada yang pernah nyeletuk, "Nggak mau ke Jakarta? Merantau jadi pemain film," cuma gara-gara tampangku yang lumayan mencolok untuk ukuran pemuda desa. Aku memang berpendidikan tinggi; modal utama yang pasti bisa membawaku suskses di kota. Tapi, entahlah. Hari ini rasanya semua kebangganku luruh ketika sifat melankolisku muncul lagi; hanya gara-gara seorang gadis cilik di ujung desa ini.
Hanya karna buku-buku itu. Buku-buku yang berserakan itu. Buku dan kertas lecek sang gadis ....
**
Apa daya, keinginan itu pupus diterjang angin yang seringnya labil. Kadang ganas kadang tenang. Tapi kalo sekarang nggak ada namanya angin tenang. The world has changed; dan kondisi ini bikin angin meraung, merongrong, menyerang tempat tinggal kami dengan berbagai kejutan tiap harinya. Siapa yang patut disalahkan? Entahlah. Gue udah cukup lama berpikir tentang kesialan keluarga gue ini, tapi masih juga belum dapet jawabannya. Gue masih kecil. Masih 10 tahun. Oh, gue lupa, gue hero disini, jadi nggak ada kata 'masih' tapi 'sudah'. Takdir gue emang berkata kalo gue yang kudu ngerubah nasib keluarga ini. Nasib orang tua gue, nasib adek gue yang masih ucrit. Untunglah, orangtua gue cuma punya gue dan satu anak laki-laki. Jadi tanggungan yang dipikul bokap-nyokap nggak terlalu gede. Cuman ya itu tadi, nggak tau kenapa kedua orang tua itu masih juga belum bisa nulis cerita kami sendiri ....
**
Angin diluar menderu-deru. Berisik. Kilatan si petir mencabik-cabik malam, membuatnya terang benderang penuh cahaya menyilaukan. Tetes demi tetes hujan kini berjatuhan, menjerat siapa saja dalam basah. Menunggu waktu untuk mulai meninggikan intensitas butiran airnya, dan tak lagi segan menenggelamkan kucing kecil malang yang tengah berteduh, mencari kehangatan sang bunda. Pemuda itu tergesa menghampiri pinggiran sungai kecil berpohon rimbun. Tangannya lelah menggapai-gapai, mengacak-acak udara, berusaha menemukan; lebih tepatnya mencengkeram sesuatu. Matanya nyalang, gigih beradaptasi dengan gelapnya malam. Tak peduli kakinya terendam banjir yang menggila, membuatnya hitam terkena lumpur basah nan lengket. Rambut cokelat tergerai lembut di sisi-sisi pelipisnya; basah menutup sebagian wajah, menusuk-nusuk matanya. Lebih depan lagi, gumamnya gelisah. Harus ketemu!
Gemeletuk giginya tak digubris. Ia kedinginan, dan sempat berpikir untuk menyerah, kembali pulang dengan tangan kosong, tapi seluruh tubuh basah kuyup; kotor. Lebih maju lagi, gumamnya letih. Dengan sedikit keberanian yang tersisa, pemuda itu maju; terpelosok, dan hampir ditenggelamkan derasnya arus sungai yang sedang banjir. Tangannya menggapai udara, berusaha menarik diri keatas permukaan, menghirup oksigen bebas, melepaskan kakinya dari jerat lumpur yang seakan menggelitik tubuhnya untuk masuk ke dalam air lebih jauh. Berhasil! Jemarinya kini menggenggam erat sepucuk ranting yang lumayan kokoh di sisi kanan jembatan. Gelagapan ia berusaha menerjang air sungai yang semakin tinggi; minum air keruh, kelilipan kotoran sungai. Bah, sungai ini menjijikkan. Siapa yang patut disalahkan? Ia menggerutu dalam kacaunya kondisi malam itu.
Hampir sejam ia bergelut dengan alam. Hampir sejam itu pula ia menyerah, pasrah pada apapun yang akan terjadi nanti; yang akan terjadi pada dirinya, dan sesuatu yang ia cari. Tapi tak lama. Hujan deras itu mereda, menenangkan sang sungai yang mengamuk. Pemuda itu terseok melompat ke pinggiran, meraih sesuatu sebagai pegangan. Ia terduduk lemah di dekat tempat sampah yang kacau balau diterjang angin. Cih, siapa pula yang patut disalahkan atas tumpukan sampah yang menggenang ini? Jelas saja sungai ini meluap. Akan kudatangi si pemilik sampah tak bertanggung jawab ini nanti, cercanya dalam hati.
Tanpa sengaja, lengannya menyentuh sesuatu yang bergerak pelan, mendengkur pulas diantara sampah kardus minuman yang tercecer. Terlindung dari hujan dan banjir, kardus itu hanya setengah basah di bagian kiri sisinya, dan kering; hangat di sebagian besar sisi lainnya, aman dibawah pohon beringin yang lebat dan ternyata sulit ditembus derasnya tangisan dari langit. Si pemuda mendorong pelan kardus tersebut, mencengkeramnya erat agar tidak jatuh menimpa sesuatu dibawahnya; sesuatu yang ia cari. Si pemuda tersenyum, seulas kepuasan dan kelegaan terpancar dari wajahnya yang kuyu; pucat kedinginan.
Ia menggeser perlahan kardus itu, menggosok telapak tangannya yang mulai keriput; akibat terlalu lama bergumul dengan air yang dingin. Si anak kucing kecil mendongak, mengerjap-kerjapkan matanya yang mungil, mengeong lemah; ketakutan, kedinginan, kelelahan, lapar. Si pemuda mengelus lembut bulu tipisnya, kemudian merengkuhnya dalam-dalam, menenggelamkan kepala si kucing dalam hangat lengannya. Dan pulang, berpikir tentang ganjaran yang akan diterimanya besok kalau perbuatannya malam ini ketahuan sang ibu. Entah kenapa ia masih belum bisa mengatur alur cerita kehidupannya sendiri ....
**
DOK! DOK! DOK!
Pintu reyot gue diketuk lumayan kencang. Siapa pula yang dateng pagi-pagi gini? Hey, you know it's too early enough, don't you, huh? Gue melangkahkan kaki lebar-lebar, menjangkau sisi pintu hanya dengan lima derap. Seperti yang kalian lihat, bangunan ini dibangun diatas tanah yang luaassss, berhektar-hektar besarnya. Tapi nasib keluarga gue hanya secuil petak dari luasan itu. Jadi, kalau cuma untuk membukakan pintu aja ngeluh, payah banget jadi orang. Cuma 5 meter di depan kamar gue ini.
Gue memutar kenop dengan kasar, gusar karna ketenangan belajar gue diganggu gedoran tak manusiawi pagi-pagi buta. Gue menemukan celana lusuh berlubang di hadapan gue, kaos kucel yang udah luntur warnanya, dan, eng ... ada beberapa bercak kotor di ujung kanan bawah. Terlihat fantastis di hadapan gue; fantastis menjijikkannya. Mana ada orang bertamu dengan pakaian 'super sopan' seperti ini? Nggak punya tata krama. Gue aja kalo mau ngunjungi temen nyokap, masih berbaik hati make baju terbagus pemberian almarhumah nenek yang juaraaannngg gue pake karna sayang; takut kotor. Meskipun rumah temen nyokap itu cuma di seberang desa dan nggak ngehabisin waktu lebih banyak dibandingin naek angkot ke pasar, gue tetep ngejaga penampilan gue necis; sempurna. Bersikap sempurna juga, sesempurna gue menyembunyikan perasaan iri sama anak temen nyokap itu. Berpunya dan terpandang. Siapapun bakalan rela jalan kaki kesana demi ketemu si anak temen nyokap. Cantik, pintar, dan ramah. Gue juga ramah sih, sama orang yang dikenal. Tapi kalo sama cowok bengal di depan gue ini ....
"Cari siapa? Mau apa?" cecar gue serta merta tanpa meduliin ekspresi si cowok yang setengah terkejut. Gue menatap heran kearah dia. Dari ujung rambut sampe kaki ... bersih dan rapi. Tapi kenapa bajunya .....
"Aku cari orang yang punya tong sampah di depan itu," sambarnya tak kalah galak. Ia memicingkan mata, menatap gue seakan-akan pengen melumat kepala gue. Gue melotot nggak terima, "Gue yang punya. Kenapa?"
Cowok itu menggosok pelan baju kusutnya, meninggalkan debu-debu halus beterbangan menusuk hidung. Cih, sejak kapan dia nggak ngeganti bajunya? Salah banget tadi gue nyebut dia bersih dan rapi, gerutu gue dalam hati.
"Tolong dong, dibersihin kek sekali-sekali. Bikin banjir, tau?!" semburnya keras. Gue melotot, terjengat sedikit ke belakang, meringis. Lengan gue terantuk kusen pintu. Si cowok menyipitkan matanya lagi, "Atau aku perlu lapor ke mandor pemilik lahan ini kalo kamu nggak becus ngerawat tanahnya?" Gue mendengus kasar, pengen rasanya tangan gue nampar muka tuh cowok. Tapi gue emang salah sih, jadi gue memilih diem. Udah dari dua hari yang lalu bokap nyuruh gue misahin sampah kering di depan; buat dijual ke pemasok pabrik. Tempatnya agak jauh, jadi gue agak males gitu kesana. Gue cuma misahin sebagian plastik, kertas, dan kardus dari kotak sampahnya, terus gue taro gitu aja di sebelah pohon beringin yang anehnya tumbuh subur di seberang rumah gue ini. Beda banget sama badan gue dan adek gue yang nggak bisa subur ....
"Perlu?" Cowok jangkung itu membuyarkan lamunan gue. Gue mendengus lagi, tapi nggak bisa jawab apa-apa. Dia mendekatkan wajahnya kearah gue, ngebuat gue pengen pingsan; bau bajunya itu lho, bikin ayam ayan.
Tapi akhirnya gue melengos, "Nggak usah, gue beresin hari ini juga," gue ngeloyor pergi ninggalin si cowok yang masih berdiri di ambang pintu; mulai mungutin sampah yang berserakan di sekitar pohon beringin.
Selagi gue ngeberesin plastik-plastik basah yang tercecer, cowok itu pergi. Melangkah menjauh tanpa sedikit pun menoleh, tanpa pamit.
"Baju lo tuh yang perlu dibersihin! Bikin polusi udara aja!" cerocos gue nggak peduli, sambil terus memunguti plastik yang kusut ditimpa bebatuan. Dasar emang nggak bertata krama! Mungkin dia anak orang kaya, makanya omongannya sok banget. Tapi ...
Entahlah, gue nggak yakin sama penampilannya. Tapi kalo dari cara dia ngomel, mungkin dia anak orang berpunya; cerewet gitu.
HUH! Gue nggak tau sampe kapan gue kudu nerima nasib memelas gini; dicecar banyak orang, direndahin dan dianggap sama-sama nggak berguna kayak sampah di depan gue ini.
Tapi, kata nyokap, gue adalah hero. Hero? Atau Zero?
**
Aku nggak ngerti kenapa bisa begitu kasar sama gadis tadi. Melihat bangunan yang disebutnya rumah itu saja, sebenarnya aku ingin menangis; begitu terenyuh atas kegigihan gadis itu melanjutkan hidup. Melanjutkan pendidikan maksudku. Darimana aku tahu? Tentu saja, pintu di depanku tadi terbuka lebar, menampilkan pemandangan yang membuat siapa saja ingin tersenyum haru. Di petak kecil, agak menyudut pada dinding kanannya, terpampang sebilah kayu kering yang agak lebar, dengan selembar tikar lusuh di depannya. Tumpukan buku kecil dan kotor berserakan diatas tikar, lengkap dengan beberapa lembar kertas lecek dan pensil berujung patah. Aku begitu tertegun melihat pemandangan menakjubkan itu. Dibalik sikapnya yang kasar terhadap orang asing, ternyata ada secercah harapan; keinginan untuk memperbaiki nasibnya, memandaikan otaknya yang cerdas, tapi sayang terhalang rendahnya kondisi ekonomi yang amat mencolok. Aku hanya bisa diam dan beranjak pergi tanpa kata. Mungkin gadis itu akan semakin membenciku dengan sikap tak sopan yang kutunjukkan. Tapi sungguh, aku berusaha sekuat mungkin menahan diri agar tak menangis melihatnya berdiri tegar menantang siapapun yang ingin menghancurkan masa depannya. Termasuk aku. Gegabah mencerca kesalahan kecilnya. Terlalu ceroboh.
Aku merebahkan tubuhku diatas kasur yang empuk. Memandang langit-langit kamar, berpikir, dan ... menangis. Tanpa terasa, sifat melankolisku muncul lagi. Sial! Sudah sekian lama hal memalukan ini nggak terjadi lagi; menyakitkan jika kekuranganmu menjadi bahan olokan sekitar. Aku memang gampang sekali terharu. Bukan sesuatu yang patut kubanggakan mungkin. Aku laki-laki, beda dengan perempuan yang menganggap sifat melankolis adalah hal wajar bagi mereka. Tapi aku ...
Entah sampai kapan aku harus melawan gejolak haru yang terus menggerogoti ulu hati. Mungkin aku sudah berusaha terlihat kuat; macho di depan semua orang yang dulu sering sekali mengejekku banci. Cih, sudah hampir enam tahun belakangan aku tak pernah menangis. Aku kini bisa disebut salah satu pemuda yang ramai digunjingkan gadis-gadis di desa ini. Badanku tegap, kekar layaknya pria pada umumnya. Tampang juga nggak kalah dengan artis-artis di ibukota. Bahkan beberapa dari gadis-gadis itu ada yang pernah nyeletuk, "Nggak mau ke Jakarta? Merantau jadi pemain film," cuma gara-gara tampangku yang lumayan mencolok untuk ukuran pemuda desa. Aku memang berpendidikan tinggi; modal utama yang pasti bisa membawaku suskses di kota. Tapi, entahlah. Hari ini rasanya semua kebangganku luruh ketika sifat melankolisku muncul lagi; hanya gara-gara seorang gadis cilik di ujung desa ini.
Hanya karna buku-buku itu. Buku-buku yang berserakan itu. Buku dan kertas lecek sang gadis ....
**
unintro
hai guys!
rasanya udah nggak sabar mulai cerpen yang satu ini hahaha
yaah biasa, cewek yang gampang jatuh cinta kayak aku ini, pasti punya banyak cerita fantastic tiap harinya.
meski sama tukang pentol sekalipun mehahahaha #koleng
well, sebelumnya aku mau introduce dulu beberapa scene di cerpen ini.
dilatarbelakangi kegiatan baruku sebagai maba di its, disponsori oleh UKM Tenis ITS, didukung oleh pemain lama; Shinta dan Mas Acenk, juga beberapa wajah baru dalam hidupku.
dilandasi dengan kekuatan cinta dan perasaan suka pada pandangan pertama, demi sinar bulan yang terang benderang, dan panas matahari yang menyengat ......
GUE PERSEMBAHIN CERPEN TERBARU GUE (Insya Allah sih jadi novel hahaha) :
enjoy, guys!
rasanya udah nggak sabar mulai cerpen yang satu ini hahaha
yaah biasa, cewek yang gampang jatuh cinta kayak aku ini, pasti punya banyak cerita fantastic tiap harinya.
meski sama tukang pentol sekalipun mehahahaha #koleng
well, sebelumnya aku mau introduce dulu beberapa scene di cerpen ini.
dilatarbelakangi kegiatan baruku sebagai maba di its, disponsori oleh UKM Tenis ITS, didukung oleh pemain lama; Shinta dan Mas Acenk, juga beberapa wajah baru dalam hidupku.
dilandasi dengan kekuatan cinta dan perasaan suka pada pandangan pertama, demi sinar bulan yang terang benderang, dan panas matahari yang menyengat ......
GUE PERSEMBAHIN CERPEN TERBARU GUE (Insya Allah sih jadi novel hahaha) :
saphire
enjoy, guys!
Langganan:
Postingan (Atom)