Gue dilahirin di dunia sebagai hero. Hero keluarga gue tentunya. Kalian tau apa maksud 'hero' disini? Ya, keluarga gue emang bukan dari golongan yang tajir tujuh turunan, bukan golongan pejabat yang uangnya melimpah, dan bukan juga dari kasta Brahmana. Well, look at this place, guys! Kalian bakal langsung ngerti gimana kondisi keluarga gue. Ehm, kondisi perekonomian keluarga gue. Lantai bangunan ini cuma dari tanah basah yang keras; tanah alami, tanah yang masih asli dari sononya. Dinding bangunan? Nggak ada yang namanya dinding. Ini cuma sekat yang misahin ruangan dalam dan luar; pembatas tempat tinggal gue dengan alam liar. Masih mending kalo terbuat dari bahan yang kokoh dan nggak gampang roboh keterpa angin. Tapi andai aja itu bener, mungkin udah dari dulu-dulu uang kami kekumpul buat beli tempat tidur yang layak atau ngebangun kamar mandi; minimal yang standart-lah, ada bak mandi dan ada kakus. Oh ya, dan air sumur kalo kami emang mampu.
Apa daya, keinginan itu pupus diterjang angin yang seringnya labil. Kadang ganas kadang tenang. Tapi kalo sekarang nggak ada namanya angin tenang. The world has changed; dan kondisi ini bikin angin meraung, merongrong, menyerang tempat tinggal kami dengan berbagai kejutan tiap harinya. Siapa yang patut disalahkan? Entahlah. Gue udah cukup lama berpikir tentang kesialan keluarga gue ini, tapi masih juga belum dapet jawabannya. Gue masih kecil. Masih 10 tahun. Oh, gue lupa, gue hero disini, jadi nggak ada kata 'masih' tapi 'sudah'. Takdir gue emang berkata kalo gue yang kudu ngerubah nasib keluarga ini. Nasib orang tua gue, nasib adek gue yang masih ucrit. Untunglah, orangtua gue cuma punya gue dan satu anak laki-laki. Jadi tanggungan yang dipikul bokap-nyokap nggak terlalu gede. Cuman ya itu tadi, nggak tau kenapa kedua orang tua itu masih juga belum bisa nulis cerita kami sendiri ....
**
Angin diluar menderu-deru. Berisik. Kilatan si petir mencabik-cabik malam, membuatnya terang benderang penuh cahaya menyilaukan. Tetes demi tetes hujan kini berjatuhan, menjerat siapa saja dalam basah. Menunggu waktu untuk mulai meninggikan intensitas butiran airnya, dan tak lagi segan menenggelamkan kucing kecil malang yang tengah berteduh, mencari kehangatan sang bunda. Pemuda itu tergesa menghampiri pinggiran sungai kecil berpohon rimbun. Tangannya lelah menggapai-gapai, mengacak-acak udara, berusaha menemukan; lebih tepatnya mencengkeram sesuatu. Matanya nyalang, gigih beradaptasi dengan gelapnya malam. Tak peduli kakinya terendam banjir yang menggila, membuatnya hitam terkena lumpur basah nan lengket. Rambut cokelat tergerai lembut di sisi-sisi pelipisnya; basah menutup sebagian wajah, menusuk-nusuk matanya. Lebih depan lagi, gumamnya gelisah. Harus ketemu!
Gemeletuk giginya tak digubris. Ia kedinginan, dan sempat berpikir untuk menyerah, kembali pulang dengan tangan kosong, tapi seluruh tubuh basah kuyup; kotor. Lebih maju lagi, gumamnya letih. Dengan sedikit keberanian yang tersisa, pemuda itu maju; terpelosok, dan hampir ditenggelamkan derasnya arus sungai yang sedang banjir. Tangannya menggapai udara, berusaha menarik diri keatas permukaan, menghirup oksigen bebas, melepaskan kakinya dari jerat lumpur yang seakan menggelitik tubuhnya untuk masuk ke dalam air lebih jauh. Berhasil! Jemarinya kini menggenggam erat sepucuk ranting yang lumayan kokoh di sisi kanan jembatan. Gelagapan ia berusaha menerjang air sungai yang semakin tinggi; minum air keruh, kelilipan kotoran sungai. Bah, sungai ini menjijikkan. Siapa yang patut disalahkan? Ia menggerutu dalam kacaunya kondisi malam itu.
Hampir sejam ia bergelut dengan alam. Hampir sejam itu pula ia menyerah, pasrah pada apapun yang akan terjadi nanti; yang akan terjadi pada dirinya, dan sesuatu yang ia cari. Tapi tak lama. Hujan deras itu mereda, menenangkan sang sungai yang mengamuk. Pemuda itu terseok melompat ke pinggiran, meraih sesuatu sebagai pegangan. Ia terduduk lemah di dekat tempat sampah yang kacau balau diterjang angin. Cih, siapa pula yang patut disalahkan atas tumpukan sampah yang menggenang ini? Jelas saja sungai ini meluap. Akan kudatangi si pemilik sampah tak bertanggung jawab ini nanti, cercanya dalam hati.
Tanpa sengaja, lengannya menyentuh sesuatu yang bergerak pelan, mendengkur pulas diantara sampah kardus minuman yang tercecer. Terlindung dari hujan dan banjir, kardus itu hanya setengah basah di bagian kiri sisinya, dan kering; hangat di sebagian besar sisi lainnya, aman dibawah pohon beringin yang lebat dan ternyata sulit ditembus derasnya tangisan dari langit. Si pemuda mendorong pelan kardus tersebut, mencengkeramnya erat agar tidak jatuh menimpa sesuatu dibawahnya; sesuatu yang ia cari. Si pemuda tersenyum, seulas kepuasan dan kelegaan terpancar dari wajahnya yang kuyu; pucat kedinginan.
Ia menggeser perlahan kardus itu, menggosok telapak tangannya yang mulai keriput; akibat terlalu lama bergumul dengan air yang dingin. Si anak kucing kecil mendongak, mengerjap-kerjapkan matanya yang mungil, mengeong lemah; ketakutan, kedinginan, kelelahan, lapar. Si pemuda mengelus lembut bulu tipisnya, kemudian merengkuhnya dalam-dalam, menenggelamkan kepala si kucing dalam hangat lengannya. Dan pulang, berpikir tentang ganjaran yang akan diterimanya besok kalau perbuatannya malam ini ketahuan sang ibu. Entah kenapa ia masih belum bisa mengatur alur cerita kehidupannya sendiri ....
**
DOK! DOK! DOK!
Pintu reyot gue diketuk lumayan kencang. Siapa pula yang dateng pagi-pagi gini? Hey, you know it's too early enough, don't you, huh? Gue melangkahkan kaki lebar-lebar, menjangkau sisi pintu hanya dengan lima derap. Seperti yang kalian lihat, bangunan ini dibangun diatas tanah yang luaassss, berhektar-hektar besarnya. Tapi nasib keluarga gue hanya secuil petak dari luasan itu. Jadi, kalau cuma untuk membukakan pintu aja ngeluh, payah banget jadi orang. Cuma 5 meter di depan kamar gue ini.
Gue memutar kenop dengan kasar, gusar karna ketenangan belajar gue diganggu gedoran tak manusiawi pagi-pagi buta. Gue menemukan celana lusuh berlubang di hadapan gue, kaos kucel yang udah luntur warnanya, dan, eng ... ada beberapa bercak kotor di ujung kanan bawah. Terlihat fantastis di hadapan gue; fantastis menjijikkannya. Mana ada orang bertamu dengan pakaian 'super sopan' seperti ini? Nggak punya tata krama. Gue aja kalo mau ngunjungi temen nyokap, masih berbaik hati make baju terbagus pemberian almarhumah nenek yang juaraaannngg gue pake karna sayang; takut kotor. Meskipun rumah temen nyokap itu cuma di seberang desa dan nggak ngehabisin waktu lebih banyak dibandingin naek angkot ke pasar, gue tetep ngejaga penampilan gue necis; sempurna. Bersikap sempurna juga, sesempurna gue menyembunyikan perasaan iri sama anak temen nyokap itu. Berpunya dan terpandang. Siapapun bakalan rela jalan kaki kesana demi ketemu si anak temen nyokap. Cantik, pintar, dan ramah. Gue juga ramah sih, sama orang yang dikenal. Tapi kalo sama cowok bengal di depan gue ini ....
"Cari siapa? Mau apa?" cecar gue serta merta tanpa meduliin
ekspresi si cowok yang setengah terkejut. Gue menatap heran kearah dia. Dari
ujung rambut sampe kaki ... bersih dan rapi. Tapi kenapa bajunya .....
"Aku cari orang yang punya tong sampah di depan itu," sambarnya
tak kalah galak. Ia memicingkan mata, menatap gue seakan-akan pengen melumat
kepala gue. Gue melotot nggak terima, "Gue yang punya. Kenapa?"
Cowok itu menggosok pelan baju kusutnya, meninggalkan debu-debu halus
beterbangan menusuk hidung. Cih, sejak kapan dia nggak ngeganti bajunya? Salah
banget tadi gue nyebut dia bersih dan rapi, gerutu gue dalam hati.
"Tolong dong, dibersihin kek sekali-sekali. Bikin banjir, tau?!"
semburnya keras. Gue melotot, terjengat sedikit ke belakang, meringis. Lengan
gue terantuk kusen pintu. Si cowok menyipitkan matanya lagi, "Atau aku
perlu lapor ke mandor pemilik lahan ini kalo kamu nggak becus ngerawat
tanahnya?" Gue mendengus kasar, pengen rasanya tangan gue nampar muka tuh
cowok. Tapi gue emang salah sih, jadi gue memilih diem. Udah dari dua hari yang
lalu bokap nyuruh gue misahin sampah kering di depan; buat dijual ke pemasok
pabrik. Tempatnya agak jauh, jadi gue agak males gitu kesana. Gue cuma misahin
sebagian plastik, kertas, dan kardus dari kotak sampahnya, terus gue taro gitu
aja di sebelah pohon beringin yang anehnya tumbuh subur di seberang rumah gue
ini. Beda banget sama badan gue dan adek gue yang nggak bisa subur ....
"Perlu?" Cowok jangkung itu membuyarkan lamunan gue. Gue mendengus lagi, tapi nggak bisa jawab apa-apa. Dia mendekatkan
wajahnya kearah gue, ngebuat gue pengen pingsan; bau bajunya itu lho, bikin
ayam ayan.
Tapi akhirnya gue melengos, "Nggak usah, gue beresin hari ini
juga," gue ngeloyor pergi ninggalin si cowok yang masih berdiri di ambang
pintu; mulai mungutin sampah yang berserakan di sekitar pohon beringin.
Selagi gue ngeberesin plastik-plastik basah yang tercecer, cowok itu pergi.
Melangkah menjauh tanpa sedikit pun menoleh, tanpa pamit.
"Baju lo tuh yang perlu dibersihin! Bikin polusi udara aja!" cerocos gue nggak peduli, sambil terus memunguti plastik yang kusut ditimpa bebatuan. Dasar emang nggak
bertata krama! Mungkin dia anak orang kaya, makanya
omongannya sok banget. Tapi ...
Entahlah, gue nggak yakin sama penampilannya. Tapi kalo dari cara dia
ngomel, mungkin dia anak orang berpunya; cerewet gitu.
HUH! Gue nggak tau sampe kapan gue kudu nerima nasib memelas gini; dicecar
banyak orang, direndahin dan dianggap sama-sama nggak berguna kayak sampah di
depan gue ini.
Tapi, kata nyokap, gue adalah hero. Hero? Atau Zero?
**
Aku nggak ngerti kenapa bisa begitu kasar sama gadis tadi. Melihat bangunan
yang disebutnya rumah itu saja, sebenarnya aku ingin menangis; begitu terenyuh
atas kegigihan gadis itu melanjutkan hidup. Melanjutkan pendidikan maksudku.
Darimana aku tahu? Tentu saja, pintu di depanku tadi terbuka lebar, menampilkan
pemandangan yang membuat siapa saja ingin tersenyum haru. Di petak kecil, agak
menyudut pada dinding kanannya, terpampang sebilah kayu kering yang agak lebar,
dengan selembar tikar lusuh di depannya. Tumpukan buku kecil dan kotor
berserakan diatas tikar, lengkap dengan beberapa lembar kertas lecek dan pensil
berujung patah. Aku begitu tertegun melihat pemandangan menakjubkan itu.
Dibalik sikapnya yang kasar terhadap orang asing, ternyata ada secercah
harapan; keinginan untuk memperbaiki nasibnya, memandaikan otaknya yang cerdas,
tapi sayang terhalang rendahnya kondisi ekonomi yang amat mencolok. Aku hanya
bisa diam dan beranjak pergi tanpa kata. Mungkin gadis itu akan semakin
membenciku dengan sikap tak sopan yang kutunjukkan. Tapi sungguh, aku berusaha
sekuat mungkin menahan diri agar tak menangis melihatnya berdiri tegar
menantang siapapun yang ingin menghancurkan masa depannya. Termasuk aku.
Gegabah mencerca kesalahan kecilnya. Terlalu ceroboh.
Aku merebahkan tubuhku diatas kasur yang empuk. Memandang langit-langit
kamar, berpikir, dan ... menangis. Tanpa terasa, sifat melankolisku muncul
lagi. Sial! Sudah sekian lama hal memalukan ini nggak terjadi lagi; menyakitkan
jika kekuranganmu menjadi bahan olokan sekitar. Aku memang gampang sekali
terharu. Bukan sesuatu yang patut kubanggakan mungkin. Aku laki-laki, beda
dengan perempuan yang menganggap sifat melankolis adalah hal wajar bagi mereka. Tapi
aku ...
Entah sampai kapan aku harus melawan gejolak haru yang terus menggerogoti
ulu hati. Mungkin aku sudah berusaha terlihat kuat; macho di depan semua
orang yang dulu sering sekali mengejekku banci. Cih, sudah hampir enam tahun
belakangan aku tak pernah menangis. Aku kini bisa disebut salah satu pemuda
yang ramai digunjingkan gadis-gadis di desa ini. Badanku tegap, kekar layaknya
pria pada umumnya. Tampang juga nggak kalah dengan artis-artis di ibukota.
Bahkan beberapa dari gadis-gadis itu ada yang pernah nyeletuk, "Nggak mau
ke Jakarta? Merantau jadi pemain film," cuma gara-gara tampangku yang
lumayan mencolok untuk ukuran pemuda desa. Aku memang berpendidikan tinggi;
modal utama yang pasti bisa membawaku suskses di kota. Tapi, entahlah. Hari ini
rasanya semua kebangganku luruh ketika sifat melankolisku muncul lagi; hanya
gara-gara seorang gadis cilik di ujung desa ini.
Hanya karna buku-buku itu. Buku-buku yang berserakan itu. Buku dan kertas lecek sang gadis ....
**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar