Sabtu, 31 Desember 2011

saphire : 2. me : abruptly

Tanganku bergerak lambat diatas keyboard. Entah mau sampai kapan pikiran busuk itu memenuhi otakku. Buntu. Kosong. Membuat kepalaku botak dengan sendirinya. Jemariku merintih, berusaha bangkit dan terus menari, menorehkan kalimat-kalimat; mengisi kehampaan kertasku. Aku mengerang, risih. Ingin sekali aku berjalan, menyusuri padatnya waktu di dunia sang Big Ben. Ah, sudahlah. Besok saja kuteruskan. Lagipula ini sudah larut, gumamku. Aku beranjak pergi dari hadapan sang komputer yang masih menyisakan kilatan sinar redup. Andai saja aku mampu melawan kemalasanku kemarin, tidak akan seperti ini jadinya, erangku.

Aku berjalan mengitari sofa empuk di depan perapian malam ini. Berteduh dalam keheningan malam, melindungi gemeletuk tulangku dari dingin. Ah, api ini selalu saja bisa menenangkan perasaan. Ku singsingkan sebelah jaketku, memperlihatkan hamparan kulit putih pucat yang bersih. Sebelah tanganku yang bebas, menggapai beberapa majalah fashion; ada namaku disana, meletakkannya di pangkuanku, dan kemudian menyeruput sedikit cappuccino di meja sebelah. Ah, terlalu dingin. Mungkin Ibu sudah lelah dan sekarang terlelap di ranjangnya. Kopi ini kurang mantap. Aku bergegas ke dapur, menyiduk sedikit air keatas panci dan merebusnya sebentar. Kutuangkan semuanya ke dalam gelasku, mengaduknya hingga tercampur. Sebelum kembali ke depan perapian, kusambar tiga sachet gula pasir diatas meja makan.


Ah, malam ini malam terakhir. Harusnya aku mampu menyelesaikannya, pikirku. Sambil menuangkan tiga sachet gula ke dalam cappuccinoku, kubaca halaman demi halaman majalah fashion edisi terbaru. Lihat, itu aku; "Designer Muda Indonesia Tembus Pasar Mode Internasional" Sigh! Awalnya aku memang teramat bangga dengan pemberitaan itu. Terlihat besar, agung, dan ... hebat. Ya, hebat! Hebat sekali! Umurku baru 18 tahun, tapi aku mampu menghidupi keluargaku melalui goresan tanganku. Kau tau, tidak semua orang seberuntung aku. Banyak yang punya kemampuan melebihi aku, tapi keberuntungan belum datang menghampiri mereka. Banyak juga yang beruntung; karena mereka punya uang, duit banyak, kesempatan. Tapi lowongan itu hanya dipakai sebagai hiburan semata; jalan-jalan. Menghabiskan uang.

Sedangkan aku? Kalian harus tau, aku memulai segalanya dari nol. Dari sepucuk mimpi yang datang di siang bolong, saat aku asyik bermain bersama Ayah. Di lapangan tennis, sebuah tempat yang tak biasa kukunjungi.

**

Siang itu, Ayah tiba-tiba pulang dari tempatnya bekerja, sebuah resto sederhana beralamatkan di sebuah tempat yang berpenduduk sederhana juga. Ayah begitu sumringah, setengah berlari menyambutku yang masih berpiyama, dan tertawa keras, "Hei, Buddy, Ayah punya seuatu untukmu," katanya sambil memelukku erat. Ia berjongkok dan mengeluarkan selembar kertas, ah bukan, selembar tiket mungkin. Aku ternganga takjub, lembaran itu berwarna emas. "Apa itu Ayah? Tiket lotre? Ayah menang lotre? YEEE!" aku berteriak kencang, berlarian mengitari ruang tengah sambil merentangkan kedua tanganku; bagaikan pesawat ulang-alik yang baru saja lepas landas. Ayah tertawa, "Kemarilah, kutunjukkan sesuatu," perintahnya, menarik ujung piyamaku dan mendudukkanku di hadapannya. Sambil menyeka bulu-bulu karpet, Ayah bicara, "Lihat ini, nak. Baca yang keras. Kupikir kau sudah pandai mengeja, bukan? Bukan begitu, Bu?" tanya Ayah pada Ibu yang sibuk mondar-mandir memberesi meja makan. Ibu tertawa renyah, "Tentu saja. Sudahlah, cepat tunjukkan padanya," sahut Ibu, berjalan cepat menuju dapur. Ayah menoleh padaku, "Siap?" Aku mengangguk pasti. Kurebut lembaran itu dari tangan Ayah, mengeja pelan-pelan ..... "VOU-CH-ER TEN-NIS 2 ... 2 ...," aku melipat dahi. Angka berapa ini? Sulit sekali membacanya, gerutuku. Aku masih berusaha menafsirkan tiga angka berikutnya, ketika tawa Ayah meledak. Aku mendongak, meringis pasrah, kemudian menyodorkan voucher itu pada Ayah, "Aku nggak ngerti itu angka berapa. Bacakan untukku dong, Yah ..." Ayah menerima lembaran itu dan tersenyum padaku, "Jadi kau menyerah, eh?" Ia tertawa saat aku mengangguk, "Yah, terpaksa begitu".

"Voucher Tennis $275," kata Ayah bangga, sambil menunjuk tiga angka yang tak kumengerti tadi. Aku tertegun, $275 ... berarti ... dikalikan 9113.00 ... maka hasilnya ..., "Ya ampun, Ayah. Apa ini mimpi? WOW, itu keren banget, Yah!" Aku tersenyum takjub. Ayah juga tersenyum. Sambil mengelus pelan rambut coklatku, Ayah berkata, "Nah, kau tau sekarang berapa nominalnya dalam rupiah, kan? Hebat bukan?" Ayah tersenyum lagi. Aku mengangguk, "Cool!" kataku polos. Ibu tersenyum dari balik pintu dapur, "Jadi, kapan kau akan mengajaknya untuk pergi?" Ayah menoleh padaku, menaikkan alisnya; tanda Ia meminta pendapatku. Aku berpikir keras, dan kemudian tersenyum cerah, "Sekarang aja, Yah. Hari ini hari terakhir liburan. Aku pengen banget keluar, Yah," kataku kemudian beranjak menuju rak sepatu di samping gantungan baju. Bergegas, aku memakai sepatu kets putih dan menyambar topi merah diatas rak pakaian. Tiba-tiba Ibu mencegahku, "Stop! Tentu kau tidak akan keluar dengan pakaian compang-camping begitu, bukan?" sahutnya sambil tertawa. Err, yah, aku lupa mengganti bajuku. Perasaan senang ini terlalu membuncah, menembus ubun-ubunku. Aku menoleh pada Ayah, berlari bersenandung, menaiki anak-anak tangga dengan riang. Tak sampai lima menit, aku sudah siap untuk pergi. Ayah tertawa renyah melihatku begitu bersemangat. Aku dan Ayah segera masuk ke mobil, dan melambai pada Ibu.

Tak berapa lama, kami berdua sampai di tempat yang dituju. "Ternyata lapangan ini yang dimaksud Ayah? Nggak jauh, cuma beberapa blok. Tau gitu, kita jalan kaki aja Yah," kataku sok kuat.
Aku dan Ayah turun dari mobil, kemudian aku membantu Ayah mengeluarkan peralatan tennis kami dari bagasi. Kami berdua berjalan beriringan kerah pintu masuk lapangan tennis terbuka itu.

Dan saat itulah, tanganku mendapatkan anugerah luar biasa ini ...
Di sebuah hamparan rumput super pendek yang menghijau; padat tapi lembut bila kau merebahkan tubuhmu diatasnya. Angin semilir menerpa, menderu-deru di telinga, menerbangkan dedaunan kering dari pepohonan di sekitar. Rambut coklatku melambai pelan, mengangkat sedikit topiku, hampir saja terjatuh dihembusnya.
Tanganku terentang, mataku terpejam, begitu menikmati keadaan siang itu.
Ayah berbisik perlahan di sampingku, "Kau tentu tak akan berdiri diluar lama-lama kan, nak?" Aku menoleh, cengengesan, "Tentu Ayah," kemudian Ayah menggandengku masuk ke lapangan.

Daun-daun berserakan di tengah lapangan, membuat teduh suasana saat itu. Angin menerpa-nerpa wajahku; ingin sekali aku memeluk angin, menggoyangkannya kesana-kemari, seperti ia memainkan rambut-rambutku. Ayah meletakkan dua buah raket dan tas berisi pakaian ganti diatas kursi panjang. Kata buku cerita yang pernah kubaca, kursi panjang itu untuk istirahat pemain pada waktu latihan. Tapi kelihatannya aku akan lebih suka duduk di kursi yang bertangga itu daripada duduk di bawah. Lebih asyik rasanya melihat orang-orang bermain dari atas. Terlihat .... amat menantang!

Aku menaiki kursi bertangga itu perlahan. Oh, wow, ini asyik. Satu ... dua anak tangga kulewati. Tiga ..., "Hati-hati, nak. Awas tergelincir," kata Ayah memperingatkan. Aku mengangguk mantap, "Tenang Ayah, aku pasti hati-hati ..." tiba-tiba pergelangan kakiku tergelincir. Rupanya ada bagian anak tangga yang basah terkena air. Aku berteriak tertahan, berusaha menggapai apapun di sekitarku. Secepat kilat, Ayah menyambar bajuku dan mendorongku keatas. Fiuh, syukurlah. Aku begitu gugup menaiki tangga ini, sampai-sampai tergelincir. Ayah tersenyum khawatir, "Nah, kubilang juga apa. Sekarang, lebih baik kau cepat mengambil raketmu, dan kita mulai berlatih. Ayo!" Ayah menuntunku menuruni tangga, kemudian menunjukkan sebuah raket kecil di samping raket satunya yang lebih besar; tentu saja, itu milik Ayah.

Kami berjalan ke lapangan. Ayah mengajariku cara memegang raket dan bagaimana aku harus menggunakannya. "Pegang seperti ini," katanya sambil meletakkan tangan kanan di depan tangan kiri, menempatkan kedua telapak tangan di puncak pegangan raket. Kemudian Ayah mengayunkan raketnya ke depan-ke belakang, "Ayunkan seperti ini dari depan ke belakang. Tapi, tunggu," Ayah menghampiriku yang berdiri kaku di lapangan. "Tidak diayunkan dengan posisi badan seperti ini," kata Ayah sambil tersenyum jenaka. Aku meringis, dan kemudian meniru posisi badan Ayah. "Baik, miring seperti ini?" Ayah tersenyum, kemudian membetulkan posisi kakiku. "Seperti ini?" kataku menunjuk pada kakiku; kanan di belakang, kiri di depan, dan agak berjongkok. Ayah mengangguk, kemudian menyuruhku untuk melakukan ayunan seperti yang telah Ia ajarkan tadi. Aku mengayunkan tanganku perlahan, menyesuaikan dengan irama ayunan Ayah. Tapi entah kenapa, makin lama, tanganku mengayunkannya semakin cepat, bertenaga, dan rasanya aku sudah tidak sabar untuk memukul bola. "Ayah, boleh nggak kita mulai mukul bola aja sekarang? Aku bosan main ayun-ayun terus," kataku memberengut. Ayah tertawa, "Baiklah, baiklah. Ayo sekarang coba pukul bola Ayah ini," katanya sambil melempar sebuah bola ke hadapanku. Aku terkseiap, tidak menduga akan diumpani secepat itu. Tapi aku segera melayangkan ayunan raketku, dan tanpa terduga, tepat mengenai bola dengan keras. Bola melambung memasuki lapangan seberang, memantul perlahan, dan berhenti. Ayah terkejut, terdiam menatapku, dan bertepuk tangan, "Bravo! Anakku calon pemain tennis!" katanya sambil merangkul pundakku. Ah, Ayah, baru kebetulan saja sudah dibilang calon pemain, kataku dalam hati. Tapi aku tersenyum mengiyakan, "Tunggu saja saat aku nanti berusia 18 tahun. Aku akan jadi pemain tennis terkemuka!" kataku berapi-api.

**

Lagi-lagi aku teringat masa kecil itu. Dimana kekuatan tanganku, diam-diam datang menghampiri sang kurcaci kecil. Entah sudah berapa banyak keajaiban yang mampir semenjak hari itu. Mulai dari kemampuan menggambar yang melesat jauh diatas anak-anak seumuranku; membuat banyak orangtua temanku tertarik untuk mengikutkan anaknya kursus melukis. Hingga kelihaian bermain basket; aku mengalahkan Ayah dengan satu jebolan bola di ringnya, satu menit sebelum waktu habis. Baik, ini mungkin bisa jadi biasa saja, tapi aku merasa luar biasa. Bagaikan disengat ratusan lebah, Ayah dan Ibu tiba-tiba mengikutkanku ke berbagai kursus. Musik, Seni rupa, Olahraga, dan bahkan kursus memasak. Karena -entah gimana caranya- semua hal yang kusentuh akan menjadi hal paling menakjubkan dimataku; dimata Ayah dan Ibu juga.

Dan untungnya aku amat menikmati hal itu. Sampai suatu ketika, ada teman Ibu datang berkunjung ke rumah. Seorang pemilik wardrobe yang lumayan terkemuka; Ia melihat hasil goresan tanganku diatas kanvas. Lukisan seorang noni Belanda dengan gaun berpotongan sabrina warna peach dan krem; sedang berdiri menyamping, menggenggam sebuah payung berenda warna cokelat. Lukisan itu baru seminggu yang lalu jadi, dan bau cat minyaknya masih terasa kental di ruang tamu. Ibu dan Ayah sangat menyukai lukisan tersebut, begitu juga denganku. Aku menghabiskan banyak waktu untuk menyelesaikannya. Detail-detail bajunya, rambutnya, sepatunya, dan finishing yang amat melelahkan. Akhirnya, 25 Agustus, tepat seminggu yang lalu lukisan ini sudah berhasil dipajang di ruang tamu rumahku.

Oke, kembali kepada teman Ibu. Ia terdiam begitu lama ketika melihat lukisan tersebut. Hampir lima belas menit Ia berdiri saja di depan lukisan sang noni Belanda. Ibu tersenyum di balik rambutnya yang tergerai bebas, sesekali mengerling padaku yang sedang melahap sarapan pagiku; roti isi daging cincang dengan banyak bawang bombay dan mayonaise. Well, bawang bombay memang harus selalu tersedia dalam makananku. Untunglah rumah ini dekat dengan pasar, jadi nggak sulit buat Ibu mendapatkan bawang bombay.

Teman Ibu itu namanya Nona Sasha; Ia belum menikah. Ia amat menyukai lukisan itu, dan bertanya pada Ibu siapa pelukisnya. Dengan bangga, Ibu membalik kanvas itu, menunjukkan nama yang tertera di balik kayu kanvas. Nona Sasha mengernyit, "Siapa ini? Belum pernah aku mendengar namanya," katanya heran. Ibu tersenyum lebar kali ini, dan berkata, "Dia pelukis masa depan. Masih dalam tahap belajar dan pengembangan bakatnya. Kalau kau mau, aku bisa mengenalkannya padamu. Mungkin kau bisa bekerjasama dengannya merancang desain-desain baju baru," katanya sambil tersenyum. Nona Sasha tampak berpikir. Kemudian dengan tenang ia berkata, "Aku akan dengan senang hati mengajaknya bekerjasama, asalkan kau mau mengenalkannya padaku."

Tersenyum, dalam hati berteriak girang, aku melompat turun dari kursi, dan mendatangi Ibu yang mengulurkan tangannya padaku; merangkulku hangat. Nona Sasha tersenyum padaku, memeperlihatkan gigi-gigi besarnya yang putih bersih. "Ini anakku, kenalkan," kata Ibu sambil mendorong lenganku untuk berjabat tangan dengan Nona Sasha, "Halo, Bibi Sasha. Senang dapat berjumpa denganmu. Kuharap kita dapat segera memulai kerjasama kita bulan ini," kataku sok berwibawa. Nona Sasha menggenggam tanganku, menariknya sedikit, dan mendekatkan wajahnya kearahku, "Ya?" katanya bingung. Ibu berdehem, "Sebenarnya .... anakku yang melukis lukisan ini," katanya sambil tersenyum padaku, bangga. Nona Sasha terkejut, menutupi mulutnya yang bundar dengan sebelah tangannya. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya; bulu matanya sangat lentik, alami tanpa maskara. Melihatku takjub, kemudian bertanya padaku, pelan, "Kau ... pelukis? Seorang pelukis? Lukisan itu?" Aku mengangguk, menggangguk, dan mengangguk lagi sampai rasanya kepalaku berputar. Nona Sasha terkejut lagi, menutup mulutnya lagi, dan berulang kali berteriak, "Oh, oh," "Oh, Ya Tuhan," "Oh, wow," dan kemudian berkata pelan lagi padaku, "Kau ... belajar darimana, nak?" Aku berdehem, "Baru saja ikut kursus melukis di seberang jalan sana seminggu sekali. Sisanya aku belajar sendiri," kataku mantap. Nona Sasha tampak sangat terkejut, kemudian Ia duduk kembali, menyilangkan kakinya, dan berkata, "Baik. Minggu depan kau boleh ikut ke studio bajuku di seberang AgustinerStreet, ini kartu namaku. Barangkali kau ingin melihat-lihat dan tertarik ..." -"Tentu saja aku mau!" sambarku. Aku menoleh pada Ibu, "Boleh kan, Bu?" Ibu tersenyum kecil, " Tentu saja. Akan sangat menyenangkan untukmu belajar berbagai macam bentuk pakaian." Aku mengangguk pada Nona Sasha, "Terima kasih banyak, Bibi. Aku pasti datang memenuhi undanganmu," kataku kemudian berlari menghampiri Ayah di garasi; memberitahukan berita baik ini tentunya.

**


Tidak ada komentar:

Posting Komentar