"Woy, Ki! Sini lo gendut!"
Aku sontak menoleh cepat, menghamburkan segenggam keripik kentang yang nyaris sukses kujejalkan dalam mulut. Aku mendengus kesal, dan segera berlari-lari kecil menghampiri cewek-mirip-model di seberang jalan. Nina. Nina Orriell. Cantik, berkulit putih, tinggi, langsing, dan ... borju, tentu aja. Orangtuanya emang tajir abis. Punya beberapa perusahaan gaun yang terkenal di setiap sudut wilayah, bejiiibun restoran, dan tiga unit showroom mobil di Jakarta.
Aku udah lama sahabatan sama Nina. Hampir 5 tahun. Dan selama itu pula, aku ngerasa tertindas. Gimana nggak, aku berbadan tambun, pendek, dan punya beberapa jerawat di sekitar pipi. Kebayang nggak sih, gimana anehnya tatapan orang-orang yang ngeliat aku sama Nina pas jalan bareng? Kayak majikan sama babunya.
Tapi, yah, perasaan minder kayak gitu cuma bertahan beberapa bulan pertama aku sahabatan sama dia. Setelahnya, aku udah kebal sama yang begituan.
Di tempatnya berdiri, aku bisa lihat Nina udah nggak sabar nungguin aku yang, notabene, emang jalannya agak lamban. Badanku menghambat segalanya. Tapi sampai saat ini aku masih belum tau apa yang nyebabin aku segini bengkaknya. "Bentar, gue masukin kripik dulu," Aku menyahut sebelum Nina sempat meluncurkan omelannya. Buru-buru kususuri jalanan sambil terus mengubek-ubek tasku, mencari celah agar bisa menyusupkan kripik kentang di dalamnya.
Jemariku menulusuri buku-buku besar yang kupinjam dari perpustakaan sekolah, dan mendorongnya sedikit agar keripikku bebas remuk. Tanpa kusadari, Nina berteriak-teriak dari seberang jalan sambil menggerak-gerakkan tangannya dengan panik.
Lalu .......
............... semuanya hitam.
**
"Tante, Nina permisi ke kamar mandi dulu ya," Gue mengangguk kearah Tante Mia, wanita berkulit langsat, cantik, dan terlihat masih sangat muda yang duduk memunggungi suaminya; dan bergegas menuju ke lorong bertuliskan TOILET.
Tante Mia tersenyum dan memalingkan wajahnya ke lantai. Sinar matanya nanar, dan di sekeliling pipinya masih tersisa bekas air mata yang mengering. Suaminya pun tak lebih baik, berwajah murung dan tegang.
Keduanya menyandarkan punggung di dinding yang dingin, bercat putih pucat, tapi tidak saling bicara. Mulut mereka seakan tertutup rapat, bisu oleh keadaan yang masih juga belum bisa mereka terima.
Tadi siang, Tante Mia nerima telpon dari gue. Buru-buru gue ngejelasin semuanya, sampai rasanya pita suara gue nyaris bengkok. Gue terus bicara tanpa henti, meskipun tenggorokan gue tercekat menahan tangis, dan lidah gue kelu. Sehabis mengerahkan seluruh tenaga yang tersisa buat ngasih tau Tante Mia, gue langsung capcus ke Rumah Sakit naik taksi. Nggak peduli deh gue mesti ngerogoh kocek dalem-dalem (jarak Rumah Sakit sama sekolah hampir sama kayak jarak Monas ke Ancol ditambah macet yang luar biasa!), yang penting gue harus segera nyampe Rumah Sakit. Dan nungguin sobat gue yang terbaring lemah disana.
**
"Nin, sini deh sini!" Aku mematut diri di depan cermin sekali lagi, untuk memastikan dandananku hari ini menyentuh perfect. Rambut lurus dengan ujung bergelombang, tubuhku dibalut gaun satin hijau berlengan kerut, ditambah stiletto cokelat muda dan clucth warna senada. Hmm, aku yakin Nina bakalan ikut seneng lihat penampilanku ini.
Mata Nina berbinar ketika melihatku berbalik menghadapnya. Senyumnya mengembang, hingga tadinya kukira akan terus melebar sampai kuping. Nina mengitariku dua kali, kemudian meremas bahuku, "Lo ...," Nina tersenyum lagi sambil mengacungkan ibu jarinya kearahku. Dia membisikkan kata-kata yang memang ingin sekali kudengar, "Perfect," kemudian dia menggamit lenganku keluar kamar.
Ingin sekali rasanya aku berteriak saking girangnya. Ibu sampai ikutan cengar-cengir melihat tingkahku yang sekarang penuh semangat. Ibu bergegas menghampiriku dan Nina, mengamati tampang kami berdua dengan takjub, "Kamu kelihatan sangat sangat berbeda, Uki," kata Ibu sambil mengelus pelan pipiku. Aku meringis. Pipiku kini tidak lagi dipenuhi bintik merah yang mengganggu. Tidak lagi menggembung penuh daging dan lemak. Tidak lagi ... membuatku minder. Nina mencubit pelan lenganku, "Tuh kan, Tante, apa juga saya bilang. Di tangan saya, Uki bisa jadi primadona dalam sekejap," kata Nina mengerjap-kerjapkan bulu mata lentiknya.
Aku tertawa, "Iya, iya. Yang nge-make over aja secantik miss world, yang di-make over juga harus ketularan dong. Hahaha," aku mencengkeram tangan Nina dengan lembut. Nina cantik sekali malam ini. Rambut hitamnya yang panjang keriting dicat cokelat muda di beberapa bagian dan disanggul rendah dekat tengkuk.Dibalut gaun sederhana berwarna merah marun, penampilannya begitu sempurna dengan stiletto hitam mengilat menghiasi kaki jenjangnya. Wow! Aku berani jamin, siapapun yang melihat pasti bakal tergila-gila.
Tiba-tiba Nina menyenggol lenganku pelan, "Senyam-senyum aja daritadi. Yuk, ah, entar telat," ujarnya, mengangguk sopan pada Ibu. Ibu menyematkan beberapa lembar uang di tanganku, dan berpesan, "Jangan pulang larut malam ya. Anak gadis nggak baek pulang gelap-gelap gini, bahaya. Inget, jangan makan keripik kentang! Ibu tau temanmu Mika itu juga sama doyannya makan keripik kentang. Tapi, awas, jangan coba-coba!" Ibu berlagak galak dan memelototkan matanya padaku, jahil. Sebelum Ibu sempat berceramah lagi, aku buru-buru menyeret Nina keluar rumah. Terseok-seok, aku berpamitan pada Ibu yang mengantar kami -sambil setengah berlari- sampai depan pagar. Pak Igo -sopir keluargaku- sudah lama menunggu. Dari balik jendela mobil, aku tersenyum pada Ibu yang melambaikan tangannya, "Selamat bersenang-senang! Nina, tante titip Uki ya!" Di sebelahku, Nina menjulurkan kepalanya keluar, "Beres tante! Uki aman sama saya!" aku menjitak kepalanya pelan, kemudian mobil melaju menjauhi rumah, mengangkut dua penumpang yang terus sibuk cekikikan.
**
"Halo, ketemu lagi sama gue, di Curhat-curhat Nostalgila! Kali ini, kita bakalan share kisah-kisah yang nggak terlupakan di masa SMA. Yak, penelpon pertama udah masuk ... Ee siapa ini dimana?"
"Halo, gue Nina dari Jakarta"
"Hm, Nina? Nina siapa tepatnya? Suara kamu familier sekaleee"
"Nina ... bobo. hehehe. Nina Orriell"
"Hallo Nina Ow-Ri-El. Lo mau cerita apa nih, beib?"
"Gue mau cerita tetang sobat gue, namanya Uki"
"Uki?"
"Iyaa. Udah, gue mau cerita dulu. Jadi, gue punya sahabat namanya Uki. Kita udah temenan 11 tahun! Jadi, bisa dibilang kita berdua udah kayak sodara,"
"Terus?"
"Si Uki ini, hobbynya makan keripik kentang. Nggak pagi, nggak siang, makannya kripik kentang. Sore makan keripik lagi. Makan malem nih ya, bukan nasi pake lauk pauk, tapi nasi sama keripik kentang!"
"Wah, temen lo segitu tergila-gilanya ya sama tuh keripik?"
"Banget! Dan beberapa bulan sebelum naik ke kelas 3 SMA, baru ketahuan deh apa yang bikin dia sangat sangat besar!"
"Sangat besar?"
"Iya! Gue aja kalo ngangkot sama dia, bangku sederet habis disikat sama pantatnya! Dan tau apa penyebab kemelaran badannya?"
"Sebut! Sebut! Sebut!"
"KERIPIK KENTANG! Wahahaha!"
"Wah wah, gimana ya tampang si Uki waktu tau keripiknya yang bikin dia SAANGAT BESAR? Pasti kecewa banget nggak bisa melahap kripik kentang kesayangannya lagi"
"Iya banget! Mukanya dilipet-lipet sampe tujuh lapis!"
"Hm, terus terus?"
"Tapi suatu hari ..... ada kejadian yang bikin si Uki akhirnya nggak lagi berani nyentuh keripik kentang"
"Apa itu Nina?"
"Wah, kalo itu, biar si Uki aja yang cerita. Anyway, gue buru-buru nih mau dengerin radio. Si Uki lagi siaran. Hehehe, bye!"
"Hm, oke deh Nina. Nah sekarang, kita panggil si Uki ya! Uki! Uki!"
Gue bergegas mematikan handphone dan tersenyum.
"Ohayo! Ketemu lagi sama gue! Sesuai permintaan Nina tadi, gue, Uki, si penyiar yang cute ini mau share cerita tentang masa SMA gue. Siap-siap yaa ..."
Gue mendekatkan telinga ke radio.
Uki siaran.
**
"Nama gue Uki. Masa SMA gue suram banget, awalnya. Gue nggak kayak siswi sekolah gue pada umumnya, langsing, singset, tinggi semampai, cantik dan borju. Ehm, kalo borju ... mungkin emak sama babeh gue masih bisa dibilang borju juga. Tapi, masalahnya adalah ... gue."
Hening sejenak. Aku menghela nafas.
"Badan gue sama sekali nggak menjual. Tambun, pipi nggembung, dan pendek. Kemana-mana nenteng kantong keripik kentang, dan sama sekali nggak bisa berhenti ngunyah. Sampai akhirnya gue ngalamin suatu kejadian yang merubah segalanya. Gue kecelakaan, ketabrak mobil. Hampir seminggu gue nginep di Rumah Sakit. Biasanya, orang yang lagi sakit kan tambah kurus, berat badan turun gitu ya. Tapi anehnya, gue sama sekali nggak ngalamin perubahan itu. Perut gue tetep nggelembung, cuma pipi gue aja rada kisut,"
Aku terkekeh sedikit mengingat penampilanku yang benar-benar mirip monster berperut buncit.
"Udah sejak lama sebenernya gue ngedambain bodi bohai kayak sahabat gue, Nina. Ah iya, lupa belum nyeritain tentang sobat gue. Nina udah temenan sama gue dari kecil, jadi ditotal udah sebelas tahun gue sahabatan. Dia itu beda banget sama gue. Cantik, tinggi, putih, langsing. Dan tentunya nggak keranjingan ngelahap keripik kentang," Aku terkikik lagi.
"Makanya gue langsung minta emak gue buat nanyain ke dokternya, kenapa badan gue masih juga nimbun lemak. Dan ternyata, hasil diagnosis dokter adalah ..."
Aku menarik nafas dalam-dalam, dan menahan oksigen di paru-paruku sambil berkata lantang,
"GUE GENDUT GARA-GARA KERIPIK KENTANG! HUAHAHAHAHAHA," tawaku meledak sejadi-jadinya. Aku nggak tau kalo Nina juga sedang mengerang menekan perutnya yang sakit gara-gara tertawa hebat. Aku melanjutkan, "Dan akhirnya, Nina jadi agen FBI mendadak yang khusus bertugas buat mengawasi gue dari godaan keripik kentang! Tapi ... voila! Diet keripik kentang gue membuahkan hasil. Nggak ada yang nyangka kan, kalo dulu gue udah seimut kudanil? Huahahaha. Nah, nah, nggak kerasa jam gue udah abis. Sampe ketemu ya di siaran selanjutnya!"
"....... ini ceritaku, apa ceritamu?" Uki tersenyum mengakhiri jam siarannya.
*********end*********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar